(Melihat Otentisitas Diri Melalui Identitas dan Aktivitas)
“Naif kalau dibilang ngga pernah nyontek pas kuliah”. Sebuah komentar yang muncul di media sosial di saat para pengguna lain berdiskusi terkait kelayakan seorang kandidat saat direkrut. Ada sebuah pertanyaan yang mengundang para pembaca, “Calon mana yang anda pilih, IPK 3,5 diperoleh dengan hasil nyontek, atau 2,5 tetapi diperoleh dengan cara jujur? Jika hasil dan kondisinya sama, Anda memilih yang mana di antara kedua kandidat tesebut?
Dari pernyataan di atas, realitasnya setiap orang akan memilih hasil yang baik. Tidak dapat dibohongi, kapan dan dimana pun setiap orang berlomba-lomba untuk mencapai hasil yang paling maksimal. Ini sebuah kenyataan. Siapa sih yang mau hasilnya jelek, tidak memuaskan, tidak sesuai ekspetasi, atau berbagai istilah lain yang menggambarkan kesempurnaan? Fakta menununjukkan bahwa setiap orang menginginkan yang sempurna, perfect, tanpa cacat, yang dapat dibanggakan kepada siapa saja.
Kembali pada kutipan di atas, saya merasa bahwa tidak semua kesempurnaan itu pantas diperoleh ketika metode atau cara yang digunakan tidak sejalan dengan nilai-nilai dasar yang akan disandingkan dengan hasil yang diperoleh. Dari pendapat ini, saya akan mencoba menguraikan tiga hal, bagaimana setiap orang mestinya mempertimbangkan tiga hal tersebut saat ingin mencapai goal tertentu. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai suatu tujuan, yakni: “Bonum, Verum, dan Pulchrum”; baik, benar, indah. Ketiga hal ini tak dapat dipisahkan satu sama lain, apalagi salah satunya dikesampingkan atau dihilangkan. Tiga hal ini juga akan mempengaruhi setiap individu saat akan mengambil sebuah keputusan, yang berawal dari pertimbangan hingga dinyatakan dalam aksi nyata. Dengan kata lain, pembentukan karakter setiap orang tidak lepas dari tiga unsur tersebut; ‘baik, benar, dan indah’.
Pertama, unsur Bonum, The Goodness, Kebaikan. Kebaikan dapat diartikan sebagai unsur yang lahir dari setiap tutur kata elok, tingkah laku yang berkenan, serta menguntungkan, mengandung sisi positif. Setiap individu memiliki unsur ini dalam dirinya. Dari awal mula, manusia diciptakan, dilahirkan baik adanya. Segala sesuatu yang ada memiliki unsur kebaikan di dalam dirinya. Unsur ini ada sejak awal mula dalam diri manusia. Karena telah ada sejak awal, setiap individu tinggal mengasah unsur ini dalam dirinya dalam perjumpaannya dengan realitas.
Kedua, unsur Verum, The Truth, atau Kebenaran. Kebenaran pada hakikatnya tak terpisahkan dari kebaikan. Setiap kebenaran mengandung unsur kebaikan dalam dirinya. Pertanyaannya, “apakah baik itu benar?” Saya tidak akan menjawab secara langsung, tetapi mencoba mengulasnya dalam sebuah ilustrasi. Ada yang tidak mengenal Robin Hood? Saya yakin semuanya mengenal dia. Dia sosok yang didewakan oleh orang-orang miskin dan di sisi lain menjadi musuh besar pejabat Nottingham di Inggris. Di kalangan orang-orang miskin Nottingham, Robin Hood adalah orang yang sangat baik. Mengapa? Jawabannya jelas, karena dia sangat murah hati. Dia menolong orang-orang miskin, memberi mereka makan, berpihak kepada mereka dengan mati-matian memperjuangkan hak mereka. Di sisi lain, apa yang dilakukannya jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang dihidupi bersama. Apa yang dibagikan kepada banyak orang diperoleh dari hasil rampasan. Tujuan baik pada akhirya dicederai oleh cara yang tidak tepat. Nilai kebaikan pada akhirnya tersamar bahkan tertutup dengan cara-cara yang tidak sepantasnya.
Contoh lainnya, tindakan korupsi. Apakah seorang koruptor baik? Ketika masih menjadi tenaga pendidik, saya menggunakan pendekatan ini. Koruptor itu baik; setidaknya baik untuk keluarganya atau orang-orang dekatnya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia berjuang dengan cara apapun. Untuk menyenangkan banyak orang, ia menempuh cara yang bisa dilalui, sekalipun itu badai menghadang. Mungkin satu dua orang di antara mereka menjadi donatur, dermawan, tetapi sumbernya dari hasil korupsi.
Contoh terakhir di lingkungan pendididikan. Sebagai seorang mahasiswa, berjuang untuk memperoleh hasil ujian yang memuaskan, tetapi mengambil cara pintas, misalnya menyontek, plagiarisme, dan sebagainya. Yang penting poin akhir bagus, memuaskan, tugas akhirnya keren, tetapi diperoleh dengan cara yang tidak sehat.
Dari ketiga contoh ini, kebenaran mengungkap dirinya pada realitas yang terjadi. Kebenaran itu tidak membutuhkan alasan-alasan objektif dari subjek yang membawanya, karena kebenaran adalah subjek terhadap dirinya sendiri. Kebenaran yang diungkapkan dengan berbagai argument objektif oleh subjek lain bukanlah kebenaran, melainkan hanya sebuah pembenaran, kata Hans Georg Gadamer. Kebenaran objektif hanya ada pada kebenaran itu sendiri ketika ia mengungkap dirinya dalam realitas.
Ketiga, sebagai unsur terakhir yakni Pulchrum, The Beauty, Keindahan. Jikalau merujuk pada apa yang didefenisikan oleh Plato, keindahan adalah rasa yang bersumber pada cinta kasih. Rasa cinta menggerakkan manusia selalu ingin kembali menikmati apa yang dicintainya. Rasa cinta tidak hanya tertuju pada keindahan, tetapi juga pada kebaikan dan kebenaran. Keindahan bukan hanya sekedar apa yang elok dilihat oleh mata, tetapi juga dirasakan, dialami, serta dapat berkenan bagi banyak orang. Keindahan tidak berhenti pada ranah objek, namun lebih dari itu dapat masuk pada ranah etik.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas bahwa keindahan juga tidak dapat dipisahkan dari kebaikan dan kebenaran. The Goodness, the Truth, dan the Beauty adalah satu kesatuan dan tidak dapat berdiri secara utuh apabila salah satu dari unsur tersebut hilang. Begitu juga dengan keutuhan pribadi setiap orang. Selayaknya setiap individu memiliki ketiga unsur ini dalam pembentukan diri menjadi pribadi yang utuh. Pembentukan karakter sejak dini mesti memperhatikan tiga unsur ini, agar kelak setiap individu memiliki integritas yang teruji dan dapat diandalkan. Tidak sedikit orang melakukan hal yang baik, tetapi metode yang digunakan kurang tepat. Banyak juga yang berjuang menyuarakan kebenaran, tetapi situasi dan kondisi kurang kondusif. Tampil dengan gaya hidup yang mengesankan, namun tidak pada tempatnya.
Menjadi pribadi yang utuh dan berintegritas itu bisa dikatakan berada “gampang-gampang sulit”. Pribadi yang utuh dapat digambarkan sebagai pribadi yang otentik; di mana identitas yang dimiliki sejalan dengan aktivitas yang dilakukannya. Secara teoritis, hal tersebut mudah diucapkan, tetapi dala praktinya akan diuji ketika setiap orang berada dalam realitas. Otentisitas setiap individu akan terlihat dan teruji dari setiap kata yang diucapkan serta tindakan yang dilakukan di setiap perjumpaannya dengan realitas. Siapa yang dapat menilai? Secara subjektif orang lain dapat menilainya dari perspektif masing-masing, namun secara objektif, realitaslah yang akan berbicara. Sudahkah menjadi pribadi yang otentik? Mari, melihat diri masing-masing dan mengujinya dalam realitas. [NS]